Sabtu, 15 Oktober 2011

KISAH DUA TUKANG SOL

"KISAH DUA TUKANG SOL"

Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan

sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah

melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap,

nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan

sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil

berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang

yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang

mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya

berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah.

Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol

lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat

uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling

menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?”

kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata

tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang

Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata

mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang

Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah

tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan

dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke

tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang

barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid

terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya

sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk

makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya

uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah

makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang

dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan

barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi

kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil

bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh

mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang,

tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun

pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki

barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian

mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang

berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata

setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga

belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas

pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin

bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap

tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia

mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba

menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir

terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini,

disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin

dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang

mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat

berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak

petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang

memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan

menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak

berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai

tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu.

Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya

sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih

abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke

Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid

terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih

baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar